You are currently viewing Mengapa Belajar Tidak Selalu Harus Serius: Mengenal Pembelajaran Sosial-Emosional

Mengapa Belajar Tidak Selalu Harus Serius: Mengenal Pembelajaran Sosial-Emosional

  • Post category:Article / News

Pembelajaran sosial-emosional sebenarnya telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, namun baru-baru ini mendapatkan banyak perhatian di dunia pendidikan karena siswa harus beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat termasuk pada lingkungan belajar mereka. Model belajar ini menekankan pada pengembangan keterampilan seperti empati, kecerdasan emosional, dan kemampuan menetapkan tujuan (CASEL, 2020). Pembelajaran sosial-emosional mengajarkan siswa untuk bisa mengatasi situasi yang bisa membuatnya stres, menghadapi dan menyelesaikan konflik dengan baik, memiliki empati yang tinggi, dan bagaimana bekerja dalam tim. Para pendukung pembelajaran Sosial-Emosional beranggapan bahwa pembelajaran pada area sosial-emosional sama pentingnya dengan pembelajaran yang berfokus pada materi akademis (Brennan, 2015; Durak et al., 2011; Shriver & Weissberg, 2020). Sehingga penting bagi para pendidik mulai memastikan terlebih dahulu aspek sosial-emosional siswa terpenuhi sebelum siswa siap untuk menyerap informasi secara akademis.

Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran sosial-emosional yang dilakukan dengan benar mampu meningkatkan prestasi akademik (Durlak et al., 2011). Tapi yang perlu menjadi catatan adalah pembelajaran sosial-emosional ini tidak dapat berdiri sendiri menggantikan praktik pembelajaran akademis, justru pembelajaran ini dapat diajarkan sebagai pendukung dalam kurikulum sehingga memberikan manfaat bagi siswa untuk membantu meningkatkan seluruh aspek pengalaman belajar yang menyenangkan di sekolah (Shriver & Weissberg, 2020), karena ketika aspek sosial-emosional siswa terpenuhi mereka akan cenderung lebih terlibat aktif dalam setiap kegiatan yang ada di lingkungan sekolah.

Jika kita cermati lebih jauh pembelajaran sosial-emosional yang efektif justru akan sangat berkaitan dengan metode penilaian berbasis standar (Standard-base Grading). Perbedaan dengan metode penilaian tradisional adalah, penilaian tradisional mengkalkulasikan nilai dari beberapa tugas dan tes untuk menentukan hasil sehingga outputnya berupa angka (biasanya 1-10 atau 10-100), sementara metode penilaian berbasis standar menggunakan tugas dan tes sebagai cara untuk mengevaluasi penguasaan siswa terhadap persyaratan dasar mata pelajaran dan biasanya penilaiannya menggunakan rubrik deskriptif berbasis indikator capaian pembelajaran.

Komponen dalam penilaian berbasis standar ini mengharuskan siswa untuk merefleksikan hasil belajarnya agar bisa belajar dan memperbaiki dari kesalahan dan kegagalan. Metode penilaian ini juga mendorong siswa untuk bisa fokus pada capaian pembelajaran dan upaya mencapainya dengan kecepatan masing-masing, sehingga siswa tidak tertekan atau merasa dibandingkan dengan siswa lain, mereka hanya berkompetisi dengan diri mereka sebelumnya untuk bisa lebih baik. Sebagai contoh lain misalnya, dalam satu sesi kelas, siswa diajak berdiskusi tentang bagaimana menghadapi teman yang membuat kesal. Mereka belajar mengenali perasaan, menyampaikan secara asertif, dan menyusun strategi penyelesaian konflik. Momen seperti ini jauh lebih membekas dibanding hanya menghafal definisi “konflik”. Aktivitas tersebut merupakan salah satu contoh aktivitas dalam pembelajaran sosial-emosional dimana siswa belajar tentang pentingnya Growth mindset dan penetapan tujuan.

Dalam praktiknya, salah satu tantangan menerapkan pembelajaran sosial emosional adalah paradigma lama tentang proses belajar. Orangtua atau bahkan guru yang masih melihat belajar harus sebagai aktivitas yang “tidak menyenangkan”, belajar harus menjadi momen “serius” (menegangkan) seperti mereka waktu kecil dahulu, atau belajar adalah memberikan sebanyak banyaknya informasi kedalam ingatan.  Sehingga Ketika aktivitas pembelajaran sosial-emosional diimplementasikan dipandang sebagai aktivitas belajar yang terlalu santai dan menyita banyak waktu untuk bicara soal akademis (Zhao, 2020).

Terkadang orangtua masih risau ketika anaknya tidak mampu menjawab pertanyaan yang sifatnya faktual seperti “seperti apa trapesium itu ?” atau “apa nama ibu kota Indonesia?” padahal pertanyaan yang bersifat faktual saat ini mudah dicari di internet jawabannya. Namun penting untuk diketahui bahwa perkembangan setiap anak berlangsung secara unik, dan kemampuan mengenali istilah atau konsep formal bukanlah satu-satunya indikator keberhasilan belajar. Dalam pendidikan yang berorientasi pada perkembangan menyeluruh, justru kompetensi sosial-emosional dan kemampuan kognitif untuk berpikir kritis menjadi fondasi yang jauh lebih esensial.

Ketika anak belajar untuk bekerja sama, mendengarkan pendapat orang lain, mengelola emosi, dan mengajukan pertanyaan yang bermakna, mereka sedang mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi—yang menjadi dasar kuat untuk memahami konsep-konsep akademik di kemudian hari. Maka dari itu, alih-alih berfokus semata pada hafalan fakta, mari kita dukung anak untuk tumbuh sebagai pembelajar yang percaya diri, tangguh secara emosional, dan mampu berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Pendekatan ini selaras dengan temuan para ahli pendidikan yang menekankan pentingnya keseimbangan antara aspek kognitif dan sosial-emosional dalam menunjang keberhasilan belajar jangka panjang (Elias et al., 1997; CASEL, 2020). 

Dari perspektif manajemen yang bisa dilakukan pimpinan sekolah untuk mengatasi kekhawatiran ini adalah dengan memberikan bukti berbasis data kepada seluruh stakeholder bahwa dengan meningkatnya kompetensi sosial-emosional siswa juga akan mendukung kesuksesan akademik siswa. Polapikir bertumbuh (Growth Mindset) juga penting dimiliki agar dari data hasil penilaian tidak digunakan untuk melakukan Judgement terhadap siapapun melainkan untuk terus menjadi lebih baik kedepannya. Pengukuran kemampuan sosial-emosional yang digunakan secara bijaksana dapat menumbuhkan lingkungan dimana siswa merasa aman dan didukung sehingga mereka merasa ada di posisi yang lebih baik untuk bisa berhasil secara akademik maupun Ketika di masyarakat kelak. Stakeholder dalam hal ini orangtua perlu selalu dikomunikasikan tentang semua proses yang terjadi dan harapan-harapan apa yang ingin dituju sebagai output dari pembelajaran sosial-emosional ini.  

Pembelajaran sosial-emosional merupakan salah satu tren kekinian dalam pendidikan tapi tentu tidak lepas dari kontroversi, banyak negara maju yang mulai memperhatikan dan mempertimbangkan untuk menerapkan pembelajaran sosial-emosional di sekolah mereka. Namun tantangannya terletak pada upaya implementasi yang smooth terutama jika berkaitan dengan waktu, biaya, sumberdaya, dan dukungan stakeholder dalam hal ini orangtua. Jika bukan kita yang memulai perubahan ini, siapa lagi? Mari kita bersama-sama membangun ekosistem sekolah yang tidak hanya menekankan nilai akademis, tetapi juga menumbuhkan anak-anak yang cerdas secara emosi, berdaya tahan tinggi, dan siap menghadapi dunia yang terus berubah.